Senin, 28 Februari 2011

Mengukir Impian.. (Mengenang masa-masa indah di MA Al-Hikmah)

Tahukah kawan, mungkin cerita ini terlalu banyak dirasakan oleh teman-teman diperkampungan, anak suku dalam, anak desa, dan sejenisnya. Mereka berlari, mernyanyi, bermesra ria bersama kawan-kawannya menelurusi bukit yang tinggi di sore hari. Alam yang kian menudung, matahari pun kian menidurkan dirinya di belahan bumi, suasana pun kian harmoni, layang-layang menghampar di awan, diatas ladang, ladang pedesaan. Satu persatu pun layang-layang itu bertabrakan, becerai berai, saling mengadu menunjukkan siapa yang paling hebat menjatuhkan layangan lawannya. Satu diantara mereka yang mengadu layangan ada yang terputus layangannya dari tali temali dan kian terbang jauh tanpa arah membingkai sajak-sajak awan yang kian tak bermentari. Sang pemilik layangan yang terputus itu pun hanya pasrah dan menatapi kemana layangan itu kan jatuh. Mungkin hati kecilnya berkata, “bangga sekali orang yang mendapatkan layangan itu”.
Mereka yang menyusuri bukit, hanya dapat melihat dengan seksama. Merasakan keindahan alam, melihat atap-atap perumahan dari atas bukit, memandang langit dipenuhi layang-layang yang indah beterbangan dan berjatuhan satu persatu menghiasi awan yang kian menyurutkan sinarnya itu. Mereka bermanja dengan alam, dengan teman-teman, dengan rerumputan ilalang, dengan alam tentunya. Mereka saling berkejaran satu sama lainnya, saling mengejek, saling mengumpat direrumputan yang panjang, lalu saling mendekat kembali. Malu-malu tapi mau, satu diantara mereka ada yang menyuarakan pada alam tentang sebuah cita, sebuah asa, dan sebuah pengorbanan. Mereka ingin mendapatkan hasil itu dikemudian hari. Mereka meneriakkan sejadinya kepada seluruh alam dan berharap agar alam dan seisinya pun mendengar serta mendoakannya agar segala cita yang ia panjatkan dikabulkan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semua teman-teman yang berada disekelilingnya pun menatapnya sambil menertawakan perlakuannya itu. Burung-burung yang berkicau, sentak melihat orang yang meneriakkan cita-citanya itu, kerbau-kerbau yang sedang dikembalai oleh pemiliknya pun terdiam sejenak seakan sedang mencoba mendengarkan suara itu, pepohonan yang tandus dan rindangpun seakan menghadapkan wajahnya ke orang itu. Mereka seakan sedang bertanya-tanya dalam hati, “ada apa dengan orang itu”.
Satu-persatu, mereka pun meneriakkan cita-citanya, alampun makin banyak saja yang melihat fenomena itu. Fenomena cita, dari harapan anak desa, anak suku dalam, tapi bukan untuk anak kota. Ya, memang benar, fenomena itu bukan untuk anak kota yang tidak punya bukit, kawan yang banyak, dan alam seperti anak desa karena tersibuk dengan dunianya sendiri.
Itu semua memang benar adanya. Tapi tidak untuk diriku, diri dari metropolitan, bersama teman-temanku di MA Al-Hikmah, sekolah tercinta yang telah mempertemui kami semua.
Memang sekolah kami berada ditengah-tengah kota Metropolitan. Dikelilingi oleh kebisingan diberbagai sudut dan persimpangan jalan, dipenuhi dengan gemuruh lika-liku orang-orang kota yang penuh dengan kesibukan. Memang itulah watak kota Jakarta, kota yang bising, tapi tidak semua hati para penghuninya juga ikut bising karena masih banyak hati dari para penghuninya yang bening dengan kebeningan prasangka pada Allah Subhanallahu Wa Ta’ala dan juga pada sesamanya.
Mungkin awalnya banyak sekali orang yang menyangka kalau sekolah kami itu sekolah yang sudah ga’k layak untuk ditempati karena kurangnya sarana dan prasarana yang memadai untuk kegiatan belajar dan mengajar, kegiatan Ekstrakulikuler, maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Sekolah kami berada diatas SD yang berlantai tiga. SD itu penuh dengan aktivitas dan fasilitas yang memumpuni murid-muridnya. Penuh dengan kemegahan, keanggunan, dan keharmonisan karena hanya orang berduit yang bisa menyekolahkan anaknya di SD itu. Namun, ketika melihat ke lantai 4, maka yang terlihat adalah kesunyian layaknya sekolah mati berpenghuni, kepelikan, dan keusangan tetapi tidaklah menyukarkan harapan. Ya, itulah sekolah kami, MA Al-Hikmah yang kami cintai keberadaannya. Sekolah yang hanya dihuni oleh sekitar 50 siswa dari kelas 10 sampai kelas 12. Ketika waktu istirahat berlangsung, biasanya kami selaku siswa laki-laki bermain bola dipelataran Kubah Masjid Al-Hikmah yang berada disamping sekolah kami. Main bola dipelataran kubah Masjid sungguh sangatlah mengerikan. Sudut-sudut pelataran kubah itu hanya dipagari sekitar 30 cm sebagai pembatas. Padahal, pelataran Kumabah Masjid itu berada diketinggian  sekitar 60 kaki dari permukaan. Anda bisa bayangkan, seandainya kita jatuh tersungkur dari pagar pembatas itu, maka nyawalah taruhannya. Karena kita akan terjatuh dari lantai 4 sampai ke lantai dasar dengan terjun bebas tanpa ada yang menghalangi. Bahkan, ketika bola kami tersungkur dari pagar pembatas, maka salah satu diantara kita harus ada yang turun ke bawah sampai ke lantai dasar hanya untuk mengambil bola. Terlalu sering memang kita merasakan bagaimana susah payahnya main bola dipelataran kubah yang terlalu mendekatkan diri kita dengan kematian dan penuh dengan kelelahan ketika kita harus naik turun tangga hanya untuk mengambil bola. Terlebih, tangga yang kita lalui cukuplah curam untuk didaki. Banyak sekali orang tua murid yang enggan ke sekolah kami karena tangganya yang cukup curam itu. Wajarlah, ketika bel yang menandakan selesainya istirahat berlangsung, banyak diantara kita yang dilumuri keringat dan membuat dekil baju-baju sekolah yang kami kenakan. Meskipun begitu, terik mentari yang sangat panas disiang hari tidaklah menyurutkan langkah kami untuk bermain bola dan bermesra ria dengan teman-teman. Ditengah segala kekurangan kita tetaplah merasa senang dan menerima segala yang ada. 
Kubah Masjid Al-Hikmah memang sudah menjadi saksi bisu kita selama pakaian putih abu-abu melekati keseharian kami disekolah itu. Hukuman lari mengelilingi kubah masjid ketika matahari yang terik dan merontangkan bumi, candaan, celotehan, cibiran, dan kumpulnya kami terlalu sering dilakukan dipelataran kubah itu. Foto-foto, video-video ketika kami dihukum, ketika bermain bola, dan segala peristiwa lainnya terlalu banyak terbuat ketika kami disana. 
Memang, pelataran Kubah Masjid sangatlah istimewa bagi kami sebab dari pelataran kubah itu kita dengan leluasa melihat gedung-gedung yang tinggi, awan-awan comulus yang menghiasi, aktivitas orang-orang kota, atap-atap rumah yang saling menghimpit, suasana siang Kota Jakarta yang membahanakan kepenatan, dan lain sebagainya tanpa ada pohon-pohon dan dedaunan yang menghalangi pandangan kami dengan jelas untuk melihat segala fenomena itu.

Kubah Masjid itu memanglah menjadi tempat yang memererat tali persaudaraan kami satu sama lainnya. Kita saling bercerita, berkumpul bersama, dan bercanda ria seperti pelajar-pelajar lainnya. Yang membedakan kami dengan pelajar lainnya adalah kami sangat dekat dan erat dengan seluruh teman-teman satu angkatan kami dan seluruh civitas akademika MA Al-Hikmah karena hanya belasan orang sedangkan pelajar-pelajar lainnya hanya bisa berkumpul dengan kelompok-kelompok kecil, komunitas, dan geng-geng sekolah karena terlalu banyak siswa dalam satu angkatannya sehingga tidak bisa mengenal semuanya. 
Ketika sore dan pagi hari, tepat turun dan naiknya mentari, ditengah-tengah pemandangan langit yang indah, didalam kesejukan hati dan iman sehabis kelam, kami sering menyuarakan cita kepada seluruh alam dengan sekeras-kerasnya dipelataran Kubah Masjid itu. Meskipun tidak ada burung-burung yang mendengar dan menghiasi langit, kerbau-kerbau yang sedang turun dari bukit, maupun pepohonan rindang yang menyemaikan harapan kami kepada seluruh alam lainnya tidaklah menyurutkan kami dalam menanam benih-benih do’a yang kami panjatkan hanya untuk Allah kepada seluruh alam. Semoga alam dan seisinya diberbagai penjuru langit mendengar do’a-do’a kami untukNya, lalu merekapun mendo’akan kami agar dikabulkan segala cita dan asa kami oleh Allah Subhanahu Wa ta’ala yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Karena kami tahu, dari sekian banyak makhluk yang mendengar do’a-do’a kami yang kami panjatkan serta meminta dido’akan oleh orang-orang yang sholeh, oleh seluruh alam, kami mengharapkan banyak yang mengamini do’a itu dan membuat Allah malu ketika belum sesegera mungkin mengabulkan do’a-do’a hambaNya yang sedang berserah diri dalam sebuah do’a itu.
Ketika matahari masih tertidur lelap dipermukaan Kota Jakarta, ketika kami sedang berada diatas Kubah Masjid, dengan semangat yang membara, Ja’far menepuk pundakku lalu berkata “inget ri, suatu saat gue akan naik pesawat itu ke Madinah..!!” sambil menujuk pesawat yang sedang membentang dilangit yang masih membiru waktu pagi hari itu. 

Aku pun menjawab, “ amiin ya Robb. Kalo gue yang deket dah far.. Jogja dulu.. hehehe..”
Sebuah pelajaran dan hikmah juga banyak kami dapatkan ketika sedang menempuh pendidikan di sekolah itu. Memang, awalnya banyak diantara kami yang malu dan resah dengan kondisi sekolah yang serba kekurangan itu. Apalagi ketika kami harus menceritakan kondisi sekolah kepada teman-teman kami dari sekolah-sekolah Negeri maupun sekolah-sekolah bonavit lainnya sungguh sangatlah memalukan dan meresahkan batin kami. Mereka pasti akan menceritakan tentang kemewahan dan kebonavitan sekolahnya masing-masing yang dipenuhi dengan berbagai aktivitas dan fasilitas. Mereka bisa menceritakan itu semua karena memang mereka mempunyai semua itu, sedang sekolah kami tidak. Seakan Allah tidak adil. 
Semua orang menyangka bahwa sekolah kami adalah sekolah pilihan terakhir ketika kita tidak diterima di sekolah Negri. Memang benar, banyak diantara kami yang menjadikan Al-Hikmah sebagai pilihan terakhir ketika mereka tidak mendapatkan sekolah Negri. Meskipun begitu, ada pula orang tua yang langsung menyekolahkan anaknya ke Al-Hikmah sebagai pilihan pertama, salah satunya adalah aku.
Namun, hari demi hari berlalu semua kegundahan dan kegelisahan hati ketika sekolah di Al-Hikmah akhirnya terpadamkan. Semua itu karena harapan, do’a, rahmat Allah tentunya. Aku baru merasakan bahwa Takdir Allah amatlah baik. Allah memanglah sangat adil terhadap seluruh makhluknya tanpa pandang bulu. Semuanya akan merasakan keadilan itu, keadilan yang hakiki, keadilan yang sejati hanya datang dari Allah Subhanahu Wata’ala. 
Ternyata ketika aku di Al-Hikmah, aku mendapatkan pengalaman bersekolah yang tidak semua orang merasakan pengalaman itu. Kalau kita pernah mendengar cerita tentang laskar pelangi, sebuah novel karya Andrea Hirata yang menceritakan tentang kondisi sekolahnya yang sebegitu serba kekurangan disebuah pedalaman mungkin masih sangat banyak diseluruh pelosok dalam Negri ini. Sekolah kami sama dengan mereka, yang membedakan hanyalah tempat. Sekolah mereka berada dipedalaman sedangkan sekolah kami berada ditengah-tengah Kota Metropolitan, dikelilingi gedung-gedung yang tinggi menjulang, dihirupi udara kendaraan yang tiada bermesra dengan alam. Padahal, hampir rata-rata sekolah yang berada di Jakarta adalah sekolah yang mewah dan terfasilitasi segala aktivitasnya. Hampir semua orang yang bersekolah di Jakarta merasakan semua itu. Tapi tidak untuk kami. Ternyata karena hal itu, Allah memberikan kami sebuah pengalaman yang sangat langka dirasakan oleh orang-orang perkotaan. Allah telah memilih kami untuk merasakan pengalaman yang hanya sedikit orang bisa merasakan pengalaman itu. Dari hal ini ternyata aku baru sadar, bahwa Allah Maha Adil. Allah melangkakan kami agar mendapatkan pengalaman hidup yang langka dari orang lain.

Hal ini terbukti ketika kami bercerita dengan teman-teman kami di sekolah-sekolah Negeri dan bonavit tentang sekolahnya masing-masing. Hampir seluruh cerita dari mereka yang bersekolah di Negeri ceritanya sama. Yaitu tentang pacaran, tentang tawuran, geng-geng, ekskul-ekskul, dan aktivitas lainnya yang berada disekolah mereka masing-masing. Namun ketika kami menceritakan tentang sekolah kami, mereka terheran, karena cerita kami sangatlah berbeda dengan mereka. Terlebih ketika kami menceritakan tentang aktivitas kami dipelataran Kubah Masjid yang penuh dengan bahaya, menceritakan kondisi hari-hari selama UN dan UAS yang siswa laki-lakinya berinisiatif untuk tinggal berhari-hari disekolah sampai UN dan UAS itu selesai, tidur dipelataran kubah Masjid dimalam hari yang sejuk bersama teman laki-laki lainnya dan alampun menyelimuti tidur kami yang lelap itu dengan gumpalan langit-langit yang meredupkan sinar sang rembulan, merasakan bagaimana kerasnya hidup di Jakarta ketika kami berpetualang, berfoto-foto dengan polisi, berangkat sekolah sambil berjualan donat, roti, mie, dan lopper koran, sholat subuh berjama’ah dengan imam yang panjang bacaan dan hafalannya, bercerita tentang cita yang kami suarakan dipagi dan sore hari, merasakan bagaimana rasanya sekolah dipantau oleh Tim Densus 88, bernyanyi sambil bersemai dalam ukhuwah diatas tebing yang tinggi sekitar  30 meter tanpa ada pembatas yang sungguh sangatlah mengerikan ketika kita terjatuh, dan cerita lainnya yang masih terlalu banyak dan jarang dirasakan oleh orang lain. Hal itu kami rasakan dengan penuh cinta dan cerita. Terima kasih Ya Robb ternyata Engkau telah menakdirkan sebagian kecil orang untuk merasakan sebuah pengalaman yang berbeda dari yang lainnya.
Tapi ternyata aku sadar, sebenarnya yang lebih tepat mengapa aku bisa merasakan pengalaman yang berbeda adalah diri sendiri yang menentukannya. Allah telah memfasilitasi hidup kita dengan segala nikmatNya untuk mencari sebuah pengalaman indah. Namun yang menentukan pengalaman itu indah atau tidaknya adalah kita sendiri, mau atau tidaknya menggunakan segala Nikmat itu untuk mencari pengalaman yang indah adalah pilihan. Kalau kita mau mencari pengalaman yang indah, maka sudah sepatutnya kita menggunakan segala fasilitas nikmat yang Allah berikan itu. Alam sudah menyediakan, tinggal kita yang menggunakan. 
Lihatlah para pendahulu kita, para pewaris peradaban duniai ini, mereka adalah orang-orang yang biasa namun pengalamannya membuat mereka menjadi luar biasa. Lihatlah Rasulullah, Nabi-nabi, Abu Bakar, Umar Bin Khottob, Ustman Bin Affan , Hatta, Natsir, Buya Hamka, Adolf Hilter, Einstein, Napoleon Bonaparte, dan lain sebagainya. Pengalaman mereka telah menjadikan diri mereka orang-orang yang tegar, orang-orang yang besar, orang-orang yang kokoh terhadap pendirian, orang-orang yang penuh dengan keistimewaan karena pengalaman telah mencerdaskan mereka dalam membuat strategi agar tidak perjatuh pada pengalaman yang buruk untuk kedua kalinya. Pengalamannya telah membawa mereka kepada sebuah kehidupan yang bermakna. Benar memang, pengalaman adalah limu yang berharga.
Pengalaman memanglah indah namun tidaklah seindah sebuah pengamalan. Pengalaman memanglah sangat berharga namun tidaklah seberharga pengamalan. Karena sejatinya yang dipertanyakan diakhirat nanti adalah pengamalan, bukan pengalaman.
Lagi-lagi Allah Maha pengasih dan Maha Penyayang terhadap seluruh makhluk yang mengharapkan Ridho dan HidayahNya. Allah memberikan nikmatNya kepada seluruh penghuni alam semesta, kepada seluruh ciptaanNya tanpa mengenal lelah memberikan Rezeki dan musibah. Semua itu Dia berikan kepada makhlukNya untuk menguji sebuah iman, menguji sebuah junjungan, menguji sebuah hati, menguji sebuah prasangka sejauh mana kita mengingat Allah dalam hati, akal, dan prasangka kita yang sering menaifkanNya dalam kehidupan dunia yang sesaat.
Allah mempertemukanku dengan guru-guru yang sungguh tidak menomor satukan prestasi akademik, mereka lebih mementingkan prestasi Akhlak dan Taqwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Semua itu kami rasakan ketika kami dituntut untuk selalu jujur terhadap perkataan dan perbuatan. Selalu dipantau sebuah Mutaba’ah ketaatan, selalu menjunjung tinggi makna kebenaran dan kebajikan tentunya. Ketika datang sebuah permasalahan moral pelajar, kami diarahkan oleh guru untuk menjadi pioneer, menjadi garis terdepan, menjadi panji pergerakan yang menuntut perbaikan moral Bangsa ini kepada para petinggi Negeri.
Wajarlah, ketika ada aksi pelajar yang mengatasnamakan moral Bangsa sekolah kami sering menyuruh siswa-siswanya untuk datang aksi tersebut sekaligus berkontribusi, berjuang, bersatupadu membela Negeri bersama pelajar-pelajar lainnya. Tidak sedikit dari teman-teman kami sering menadapatkan teror-teror setelah kami melakukan aksi yang berhubungan dengan moral pelajar.
Mereka selalu mementingkan kami nilai kejujuran. Ketika UN berlangsung, sekolah kami sangat anti dengan bocoran dan bantuan dari tim sukses yang biasa dilakukan oleh sekolah-sekolah lainnya. Mereka tidak mengarahkan kami untuk menjadi koruptor yang membohongkan hati dan diri sendiri, mereka tidak mengutamakan kemenangan materi yang sesungguhnya hanyalah titipan Illahi. Kita sebagai siswanya hanya diarahkan untuk beribadah, beikhtiar, berjuang, dan berdo’a yang menyeimbangkan antara bekal dunia dan akhirat. Meskipun begitu, guru-guru kami bukanlah malaikat yang tidak mempunyai dosa dan salah. Dimata kami, guru-guru kami hanyalah manusia biasa yang mengharapkan Ridho dan HidayahNya ketimbang harta dunia yang siap musnah ditelan masa.
Ingatlah sebuah pepatah mengatakan “ seseorang mulia bukan karena apa yang dimilikinya, tapi karena pengorbanannya untuk memberikan manfaat pada orang lain”.
Hal inilah yang menyadarkanku ternyata nilai akademik bukanlah segala-galanya. Yang lebih terpenting adalah nilai iman dan taqwa kita dihadapan Robbnya, pengorbanan kita untuk taat dan cinta padaNya. Semoga kita semua mendapatkan predikat Taqwa disisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan memasukkan kita ke syurgaNya dikehidupan yang kekal, yaitu akhirat. Syurga yang indahnya tidak akan bisa dibayangkan oleh akal pikiran. Seindah-indahnya kita memandang keindahan Syurga, sebenarnya Syurga-itu beribu-ribu kali lipat hingga tidak bisa terhitung lipatan itu dari akal pikiran kita. Wajarlah, kalau Syurga itu tidak bisa dibayangkan betapa indahnya. Dunia yang sesaat dan sudah tua saja masih kita anggap indah, apalagi Syurga yang kekal, pastilah teramat jauh lebih indah.
Kini, harapan kami satu persatupun tercapai, dalam satu angkatan kami terdapat 18 siswa, yaitu: Amirah Viras, Fatimah Az-zahra, Ruqoyah, Qurrota A’yuni, Nida Kamila, Musyiroh, Muhammad Mukhlis, Muhammad Abi Auzan, Muhammad Iqbal, Muhammad Furqon, Muhammad Akbar, Teguh Santoso, Fachri Aidulsyah, Ibrahim Sholahuddin, Kholid Musthofainal Akhyar, Ja’far Muttaqin, Imam Khoiruddin, Ramzi MBA, dan Khaled Zein Baridwan.
Dari ke-18 orang itu, 2 diantaranya diterima di Univ. Al-Azhar Mesir, 1 diantaranya diterima disalah satu Perguruan Tinggi yang ada di Malaysia, 1 diantaranya diterima di Univ. Indonesia, 1 diantaranya diterima di Univ. Sumatra Utara, 2 diantaranya diterima di Univ. Gadjah Mada, 4 diantaranya diterima di LIPIA Jakarta (Cabang Univ. Ibnu Suud Saudi Arabia), 1 diantaranya diterima di UIN Syarif Hidayatullah, 1 diantaranya diterima di STIDDI Al-Hikmah, 2 diantaranya diterima di STMIK Jakarta, 1diantaranya diterima di GICI, 1 diantaranya diterima di BSI. Meskipun begitu beberapa diantara kami juga ada yang sudah bekerja terpencar satu sama lainnya.
<span>Tidak ada persaudaraan yang abadi kecuali persaudaraan itu dilandaskan iman, dilandaskan keTaqwaan. Hidupnya untuk yang Maha hidup. Bersemailah dalam ukuwah diatas pengharapan berjalan dijalan yang diRidhoi Illahi. Karena sungguh tidak pantasnya kita memiliki, kita hanyalah menjadi seorang yang mencicipi dunia ini. Kita tidak akan pernah mati, karena sejatinya setelah meninggalkan dunia nanti kita akan dipertemukan di kehidupan yang hakiki, yaitu Akhirat. Tetapi cita-citalah yang bisa mati, karena kita hanya bisa bercita-cita selama di dunia ini. oleh karena itu kejarlah cita dan impian yang mengarahkan kita pada SyurgaNya, bukan pada kelenaan dunia yang fana.
Kawan, dalam kebaikan Allah menyertaimu, jangan kau sia-siakan waktu yang sudah terbuang, jadilah seorang pejuang dan jangan pernah berharap jadi pecundang, karena kita diTakdirkan sekolah di Al-Hikmah bukan untuk menjadi seorang pecundang. Hadapilah segala liku itu bersama, kami juga pernah merasakan hal yang sama dengan kalian. Dicemooh, dilecehkan, dan dipermalukan. Hal itulah yang menjadi vitamin yang menguatkan kita dalam mengarungi kehidupan. Ayo, jangan sia-siakan. Kami selalu mendukungmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar